Sabtu, 20 Februari 2016

MENUTUP AIB SESAMA MUSLIM



“Janganlah kalian menyakiti kaum Muslim, janganlah menjelekkan mereka, janganlah mencari-cari aurat mereka. Karena orang yang suka mencari-cari aurat saudara sesama Muslim, Allah akan mencari-cari auratnya. Dan, siapa yang dicari-cari auratnya oleh Allah, niscaya Allah akan membongkarnya walaupun ia berada ditengah tempat tinggalnya. “ (dari Abdullah bin Umar)

Aib merupakan hal yang diasosiasikan buruk, tidak terpuji, dan negatif. Sesuatu hal yang tidak boleh jika orang lain sampai mengetahui, tidak terpublikasikan. Sesuatu yang disembunyikan dan disimpan.
Sebagai seorang Muslim, selayaknya kita menutupi aib sesama Muslim. Rasulullah menegaskan bahwa menutup aib dan menjaga rahasia termasuk keutamaan. Rasulullah menganjurkan umatnya untuk saling memelihara rahasia dan menutup aib agar dapat hidup bermasyarakat yang tenang serta damai.

Tidak ada kebaikan pada kebanyakan pembicaraan rahasia merekakecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (manusia) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barang siapa berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.” (QS. An Nisa : 114)

Rasulullah bersabda, “Tidaklah Allah menutup aib seorang hamba didunia, melainkan nanti di hari kiamat Allah juga akan menutup aibnya.”

Orang yang mampu menutupi aib orang lain, maka Allah juga akan menutup aibnya. Namun kita sering lupa dan terlena, dengan mudahnya membicarakan aib orang lain, padahal belum tentu kita jauh lebih baik dari orang yang dibicarakan. Kita lupa akan aib-aib kita yang menggunung. Merasa diri kita lebih baik. Ketika kita membuka aib orang lain, berarti kita membuka aib kita sendiri.

"Siapa yang mengajak kebaikan maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun, dan siapa yang mengajak kesesatan maka baginya dosa seperti dosa yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun. “ (HR Muslim)

Lebih baik kita introspeksi diri, membenahi kekurangan-kekurangan dengan memperbanyak berbuat kebaikan serta meningkatkan kebaikan yang sudah ada. Sebaiknya kita membicarakan kebaikan orang, agar kita dan yang mendengarkan dapat belajar darinya, ikut melakukan kebaikan. Justru hal ini dapat bermanfaat, kita mendapat pahala karena telah menyebarkan kebaikan, jika kita mampu melakukan hal baik itu, kita juga mendapat pahala, dan bagi yang dibicarakan juga mendapat pahala karena secara tidak langsung telah memberikan pengajaran hal yang baik.

“Hisablah dirimu sebelum diri kamu sendiri dihisab dan timbanglah amal perbuatanmu sebelum perbuatanmu ditimbang.” (Umar bin Khattab)
“Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhirat maka berkatalah yang baik, atau (jika tidak), diamlah.” (HR. Bukhari dan Muslim) wallau’alam.

“Senantiasa tersenyum dan menebarkan kebaikan”

Buku pegangan wajib peserta PPK (Program Pendamping Keagamaan) 2015 UIN Sunan Kalijaga Yogyakata.

Penulis : Ika Trismiati
Anak asuh Yayasan Kemaslahatan Umat Yogyakarta
Mahasiswa semester 4, Teknik Informatika, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

MENGENAL MANUSIA



 “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizqi dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al Israa’ : 70)

Manusia adalah ciptaan Allah yang terdiri dari ruh dan jasad. Manusia merupakan makhluk yang paling mulia diantara makhluk-makhluk Allah yang lainnya. Allah memberikan tugas bagi manusia untuk beribadah dan berkedudukan sebagai khalifah dibumi. 

Manusia adalah makhluk yang mukarram, yaitu makhluk yang dimuliakan. Manusia lebih mulia dari makhluk-makhluk lain, karena manusia mempunyai hati untuk merasakan, mempunyai akal untuk berfikir, mencari ilmu pengetahuan, serta mempunyai raga yang dapat digunakan untuk beramal kepada Allah.

Manusia adalah makhluk mukallah, yaitu makhluk yang dibebankan tugas. Dibebankan  untuk beribadah, menyembah Allah serta sebagai khalifah di bumi. Apa yang dilakukan manusia semata-mata untuk beribadah kepada Allah, melaksanakan perintah Allah, melakukan amal sholeh. 

Mujzi, yaitu makhluk yang mendapatkan balasan atas amalannya. Setiap perbuatan manusia akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah pada hari akhir nanti. Apabila selama didunia selalu menjalankan perintah Allah, menjauhi larangannya, melakukan amal sholeh maka Allah akan memberikan balasan yang setimpal yaitu kebahagian di surga. Sebaliknya, jika selama didunia hanya melakukan maksiat, tidak menghiraukan perintah Allah, maka jelaslah manusia akan mendapat balasan siksaan dari Allah di hari akhir kelak. 

“Bahkan manusia menjadi saksi atas dirinya sendiri.” (QS. Al Qiyamah : 14)

“Apakah manusia mengira, dia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban) ?” (QS. Al Qiyamah : 36)

Manusia terdiri atas unsur hati, akal dan jasad atau raga.

Hati. Setiap manusia mempunyai hati, perasaan. Hati mampu membentuk kemauan atau keputusan dari keyakinan, kehendak, kebebasan untuk memilih. Hati yang tidak pernah salah untuk menentukan keputusan. Hati yang secara jujur mengatakan bahwa dirinya membutuhkan Allah dan takut akan murka serta siksa-Nya.

Akal. Manusia dapat berfikir secara rasional, berakal, mampu membentuk pengetahuan. Berfikir terlebih dahulu sebelum melakukan sesuatu, memikirkan akibat yang akan ditimbulkan. Dengan akal, manusia mampu belajar, mendapatkan ilmu dan pengetahuan.

Jasad atau raga. Manusia diciptakan oleh Allah dalam keadaan yang paling baik dan paling sempurna. Dengan raga, manusia mampu beramal, melakukan kewajibannya sebagai seorang muslim dengan melakukan amal sholeh, seperti mengerjakan sholat, bekerja yang halal untuk memenuhi kebutuhan hidup dan lainnya.


“Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”” (QS. At Taubah : 105) wallau’alam.

“Senantiasa tersenyum dan menebarkan kebaikan”

Zaini, Syahminan. 1984. Mengenal Manusia Lewat Al-Qur’an. Surabaya : Bina Ilmu.
Buku pegangan wajib peserta PPK (Program Pendamping Keagamaan) 2014 UIN Sunan Kalijaga Yogyakata.

Penulis : Ika Trismiati
Anak asuh Yayasan Kemaslahatan Umat Yogyakarta
Mahasiswa semester 4, Teknik Informatika, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta




Selasa, 02 Februari 2016

INGIN DICINTAI, NAMUN DIBENCI



Semua orang pasti ingin dicintai, oleh keluarga, teman-teman, terutama oleh Allah. Melakukan hal-hal yang dapat membuat orang lain bahagia, misal memberikan hadiah dan perhatian. Melakukan ibadah agar selalu dekat dengan Allah, berharap Allah mencintainya. Melaksanakan shalat dan dzikir dalam waktu yang lama, bersedekah, dan hal-hal semacamnya.

Namun, jika seseorang melakukan amalan hanya untuk mendapat pujian dari manusia, maka dia tidak akan mendapat pujian itu. Sebaliknya, orang-orang akan membencinya, karena menganggap mereka riya’ dalam beribadah.

Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang memperlihat-lihatkan amalannya maka Allah akan menampakkan amalan-amalannya. “ (HR. Muslim)

Ketika seseorang melakukan sesuatu untuk mengharapkan imbalan, baik itu pujian maupun sanjungan dari orang lain, justru kita tidak akan mendapat apa-apa. Kita tidak mendapat pahala, karena apa yang kita lakukan tidak ikhlas karena Allah. Tidak mendapat pujian, justru akan dibicarakan orang lain, bahwa telah riya’.

Hal yang biasanya terjadi, misal melakukan sholat sunah agar dibilang sebagai orang alim, karena rajin ibadah sunahnya. Bersedekah, tetapi dia menyebarkan berita bahwa dia baru saja bersedekah, bahkan mengekspos ke media massa. Bersedekah dengan niat terselubung, agar memperoleh balasan. Itu namanya tidak ikhlas dan riya’. 

“Padahal, mereka tidaklah disuruh melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya dalam menjalankan ajaran yang lurus, mendirikan sholat dan menunaikan zakat. Demikian itulah agama yang lurus.” (QS. al-Bayyinah: 5)

Namun, apabila seseorang melakukan amalan ikhlas karena Allah, maka Allah maupun orang lain akan mencintainya. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang iman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (QS. Maryam:96)

Hadits Rasulullah mengatakan,”Barang siapa yang berpuasa dengan iman dan keikhlasan maka dosa-dosa (kecilnya) yang lalu akan diampuni Allah.”

Dalam sebuah hadits dinyatakan, “Sesungguhnya apabila Allah mencintai seorang hamba, maka Dia menyeru Jibril dan berkata : wahai Jibril, sesungguhnya aku mencintai fulan, maka cintailah ia. Maka Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit : sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cintailah ia. Maka penduduk langit pun mencintainya. Kemudian ditanamkanlah kecintaan padanya dibumi. Dan sesungguhnya apabila Allah membenci seorang hamba, maka Dia menyeru Jibril dan berkata : wahai Jibril, sesungguhnya aku membenci fulan, maka bencilah ia. Maka Jibril pun membencinya. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit : sesungguhnya Allah membenci fulan, maka bencilah ia. Maka penduduk langit pun membencinya. Kemudian ditanamkanlah kebencian padanya dibumi.” (HR. Bukhari Muslim)


Maka, dalam beribadah, melakukan amalan, lakukan dengan ikhlas karena Allah. Semata-mata agar yang dilakukan dapat diterima oleh Allah. Tidak mengharapkan balasan, menyertakan kepentingan pribadi dan kepentingan dunia. Karena apa yang kita lakukan, jika hanya mengharapkan pujian dari orang lain ataupun mendapat balasan didunia dan tidak dengan rasa ikhlas karena Allah, tidak akan mendapat pahala dan amalannya akan sia-sia. wallau’alam.

“Senantiasa tersenyum dan menebarkan kebaikan”

Soebachman, Adiba A . 2012 . Rahasia 5 Kekuatan Sapu Jagad . Yogyakarta : Syura Media Utama.

Penulis : Ika Trismiati
Anak asuh Yayasan Kemaslahatan Umat Yogyakarta
Mahasiswa semester 3, Teknik Informatika, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta