Jumat, 12 Mei 2017

AMANAH YANG DISIA-SIAKAN

Amanah merupakan salah satu mandat atau tanggung jawab yang dititipkan kepada seseorang untuk menjalaninya dengan rasa tanggung jawab. Ketika berbicara amanah, tidak bisa dipisahkan dengan hubungan kepada sesama. Biasanya amanah diidentikkan dengan  hubungan antara pemimpin dan bawahannya, atau dalam kehidupan masyarakat adalah warganya. Apabila seseorang diberikan amanah oleh orang lain, maka hendaknya ini menjaga amanah dengan tanggung jawab dan tidak menyia-nyiakannya bahkan menyelewengkannya.

Namun ada juga orang yang dengan mudah menyia-nyiakan amanah yang telah diberikan kepadanya. Hal ini karena beberapa faktor, diantaranya ambisi yang tidak sesuai dengan keinginan masyarakat luas, ingin memperkaya diri serta minimnya pengetahuan orang yang bersangkutan. Padahal menyia-nyiakan amanah bisa sebagai tanda-tanda akhir zaman.

Jabir Ra. Berkata bahwa ketika Nabi SAW sedang berbicara dengan para sahabatt di suatu tempat, datang seorang Arab bangsa Badui. Kemudian dia berkata, “Kapan terjadi kiamat?” Rasulullah SAW meneruskan pembicaraannya. Sebagian sahabat berkata, “Rasulullah SAW mendengar apa yang ditanyakan, tetapi tidak menyukai apa yang ditanyakan orang Badui tersebut.” Sementara, sebagian sahabat lain berkata,” Rasulullah SAW tidak mendengar.” Setelah Rasulullah SAW menyelesaikan pembicaraannya, kemudian beliau bertanya, “Mana yang bertanya tentang kiamat?” Berkata lelaki Badui itu, “Saya, Wahai Rasulullah SAW.” Rasulullah SAW bersabda, “Jika amanah disia-siakan, maka tunggulah kiamat.” Kemudian Badui tersebut bertanya lagi, “Bagaimana menyia-nyiakannya?” Rasulullah SAW menjawab, “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kiamat.” ( HR. Bukhari )

Namun diera ini menyia-nyiakan amanat buka lagi hal yang aneh, karena tindakan ini sudah menjamur dimana-mana dan menyerang siapa saja. Tidak hanya menyia-nyiakan saja tapi juga menyelewengkan. Menyia-nyiakan berarti orang yang bersangkuatan menyimpan sikap acuh tak acih terhadap sesuatu, tetapi tidak ada niatan mencari keuntungan untuk dirinya sendiri. Sedang menyelewengkan merupakan tindakan simpatik terhadap sesuatu tetapi ada maksud lain untuk mendapat keuntungan bagi dirinya sendiri.

Rasulullah SAW pada sabdanya, “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya,maka tunggulah kiamat.” Jadi agar suatu amanat dapat terjaga dengan lebih baik, serahkan urusan kepada ahlinya. Karena jika kepada yang tidak ahli, tentu saja ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan, dan akhirnya tidak paham dengan amanat, menyia-nyiakan amanat atau bahkan menyelewengkan amanat.

Suatu amanat dapat terjaga dengan adanya rasa tanggung jawab. Dan setiap orang secara rohani memiliki sifat tersebut, tinggal bagaimana cara memupuk dan memperlakukannya. Dan semua yang baik maupun buruk itu, belajar dimulai dari sendiri. Sebelum menjaga amanat yang berat, bisa diawali dengan sifat tanggung jawab yang ringan daluhu, tidak terlalu melibatnya banyak orang. Misal, di suatu perkumpulan arisan. Seseorang diberi amanat sebagai bendahara, mengurusi keuangan dan membawa uang anggotanya. Dalam memilih kandidat bendahara, kita harus tahu apakah orang ini bisa di percaya, mempunyai keahlian dalam mengurus keuangan? Jika itu sudah dilakukan tentu kita dapat memilih orang yang tepat. Dan si bendahara juga harus mampu menjaga kepercayaan dan amanat dari anggota lainnya. Dengan belajar pada hal yang lebih ringan ini, maka jika kita diberi amanat yang lebih besar, kita mempunyai mental dan jiwa untuk selalu menjaga amanat.


“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” ( QS An Nisa : 58) wallau’alam.

“Senantiasa tersenyum dan menebarkan kebaikan”

Rofi’ie, Imam. 2013. Kenali Peristiwa-Peristiwa Tanda Akhir Zaman. Yogyakarta : Najah



Penulis        : Ika Trismiati
Anak asuh Yayasan Kemaslahatan Umat Yogyakarta
Mahasiswa semester 6, Teknik Informatika, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta



DERITA ???

“Berakit-rakit dahulu, berenang-renang ketepian. Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian”

Derita adalah sesuatu yang menyusahkan yang ditanggung di dalam hati (seperti kesengsaran, penyakit). Penderitaan bukanlah sesuatu yang harus berlarut-larut disesali, namun merupakan suatu pendongkrak semangat untuk emncapai kebahagiaan. Segala sesuatu yang terjadi baik menyenangkan maupun menyedihkan harus tetap dijalani, rasakan sekedarnya. Bahagia boleh, tapi tidak smpai terlena dan melupakan Allah. Bersedih merupakan hal wajar yang dirasakan manusia, tetapi jangan terlalu lama berlarut.

Dalam banyak kisah, seperti kisah nabi, kisah keberhasilan seseorang tidak pernah tanpa penderitaan. Bahkan jika suatu keberhasilan tanpa penderitaan, keberhasilan itu hanyalah nisbi, yaitu keberhasilan yang dapat menimbulkan malapetaka. Namun jika keberhasilan dibarengi dengan penderitaan, maka perasaan bahagia akan semakin berasa.

Allah menguji manusia dengan derita kepada hamba-Nya agar terlihat mana hamba yang sabar dan mana hamba yang menggerutu.

“Dan, sesungguhnya, Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar diantara kamu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu.” (QS Muhammad : 31)

Baik buruknya seseorang dilihat dari ketika ia memperoleh cobaan, baik cobaan yang menyenangkan maupun cobaan yang menyedihkan. Namun cobaan yang menyenangkan lebih sulit dilewati. Karena biasanya ketika seseorang diberikan kebahagiaan, ia terlena dan lupa kepada yang memberi kebahagiaan. Berbeda apabila cobaan yang menyedihkan, bisa saja seseorang menjadi lebih taat. Misal pada waktu dhuha, mengerjakan shalat Dhuha. Ketika malam, melaksanakan sholat Tahajud, agar mendapat kemudahan dalam menghadapi masalah.

Rasulullah bersabda, “Sungguh, aku lebih khawatir jika kalian mendapat fitnah (ujian) yang menyenangkan dibanding ujian yang menyengsarakan.” (HR Tirmidzi)

“Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka ia putus asa lagi putus harapan. Dan, jika kami merasakan kepadanya suatu rahmat dari Kami sesudah ia ditimpa kesusahan, pastilah ia berkata, ‘ini adalah hakku, dan aku tidak yakin bahwa hari kiamat itu akan datang. Jika aku dikembalikan kepada Tuhanku maka sesungguhnya, aku akan memperoleh kebaikan pada sisi-Nya.’ Maka, Kami benar-benar akan memberitakan kepada orang-orang kafir apa yang telah mereka kerjakan dan akan Kami rasakan kepada mereka azab keras.” (Al Fushilat : 49-50)

“Dan, jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah ia menjadi putus asa lagi tidak berterimakasih.” (QS Hud :9)

Bagaimana sikap kita salama ini? Apakah mampu menghadapi cobaan yang telah menimpa?

Kebanyakan dari kita lupa bersyukur ketika diberi kenikmatan dan merasa berputus asa ketika mendapat cobaan. Maka, mulai sekarang belajar untuk mensyukuri semua yang terjadi, baik nikmat yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Percaya bahwa dalam kebahagiaan selalu ada campur tangan dari Allah, jadi tetaplah bersyukur dan tidak sombong. Yakin bahwa setiap kesedihan pasti akan berganti dengan kemudahan. Pada setiap kesedihan-kesedihan akan muncul bersamanya hikmah yang bisa dijadikan sebagai pembelajar hidup.

“Karena sesungguhnya, sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya, sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al Insyirah : 5-6)

Setiap yang terjadi, baik maupun buruk pasti ada hikmahnya. Tugas kita adalah tawakal, sabar, dan senantiasa bersyukur. Percaya bahwa setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Allah selalu bersama hamba-Nya dan tidak akan memberi cobaan melebihi batas kemampuan hamba-Nya.


“Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan, barang siapa yang bertawakal kepada-Nya, niscaya dia akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya, Dia melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya, Dia telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Qs At Thalaq :2-3) wallau’alam.

“Senantiasa tersenyum dan menebarkan kebaikan”

Makhdlori, Muhammad. 2015. Mengambil Tabungan dari Langit. Yogyakarta : Sabil


Penulis        : Ika Trismiati
Anak asuh Yayasan Kemaslahatan Umat Yogyakarta
Mahasiswa semester 6, Teknik Informatika, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta