Senin, 22 Agustus 2016

NGERUMPI?


Manusia tidak dapat hidup sendiri, pastilah membutuhkan kehadiran orang lain dalam kehidupannya. Setiap manusia butuh teman dan butuh bersosialisasi. Hal ini bisa dalam bentuk bermusyawarah, pergi bersama atau sekedar berbincang-bincang santai maupun kegiatan-kegiatan lainnya. Bersosialisasi menyebabkan manusia menjadi mengetahui keadaan di lingkungannya, mengenal orang dengan berbagai sifatnya, bergotong-royong, tolong menolong. Namun tidak dapat dipungkiri, bersosialisasi juga dapat menimbulkan pengaruh negatif. Misalnya menyebabkan adu domba, menggunjing maupun dampak buruk lainnya.

Manusia cenderung senang berbicara, ngobrol, bercengkrama, dari topik pembicaraan yang paling penting sampai hal yang kurang penting. Karena tidak mungkin, seseorang bertemu dengan orang lain tanpa ngobrol. Dan justru obrolan yang lebih menyenangkan ialah ketika membicarakan hal yang kurang penting, hanya sekedar berbincang-bincang hal sederhana. Bahkan manusia terkadang lebih menikmati obrolannya jika topiknya membicarakan orang lain
.
Suatu hubungan berawal dan berlangsung karena komunikasi, dan komunikasi tidak terlepas dari percakapan, pembicaraan. Dan tak jarang pula pada suatu percakapan muncul topik untuk membicarakan orang lain. Justru hal inilah yang kadang tidak disadari dan dengan mudahnya diucapkan. Padahal sesungguhnya, membicarakan orang lain (ghibah), umum disebut ngerumpi ini merupakan suatu perbuatan yang diibaratkan dengan perbuatan memakan daging saudara kita yang telah mati, meninggal. Jadi, apakah anda masih akan ngerumpi?

“Janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kalian memakan daging saudaranya yang telah mati? Tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha penyayang.” (QS Al Hujurat : 12)

Manusia diciptakan oleh Allah dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kelemahnya. Kelebihannya dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas iman dan kualitas kehidupannya. Kekurangan dan kelemahan terkadang akan membawa manusia pada perbuatan dosa, maksiat, dan dzalim. Baik dzalim kepada dirinya sendiri, kepada orang lain bahkan kepada Allah.

“Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.” (QS Al Ahzab : 72)

Suatu kelemahan pada manusia adalah menahan lisan. Manusia mudah tergoyah dalam menjaga lisannya. Sedikit terpancing oleh orang lain atau bahkan tanpa ada pancingan, dengan mudahnya manusia membicarakan orang lain. Dan kebanyakan yang dibicarakan adalah keburukan orang lain. Padahal jelaslah, bahwa perbuatan ini merupakan hal yang tidak baik yang dapat menimbulkan berbagai dampak negatif. Dapat menimbulkan fitnah, perpecahbelahan hubungan, adu domba, dan yang jelas dosa merupakan dampak dari ngerumpi.

Faktor pendorong manusia melakukan maksiat dapat berasal dari dirinya maupun pengaruh dari luar. Oleh karenanya, sebagai orang beriman hendaknya kita menjaga lisan kita dengan baik. Tidak perlu membicarakan keburukan orang lain, karena kita sendiri belum tentu lebih baik dari dia yang dibicarakan. Tidak perlu mudah terpengaruh dan tidak perlu menanggapi orang yang membicarakan orang lain. Disinilah, pentingnya peran memilih pergaulan.

Orang yang beriman lebih baik berusaha meningkatkan iman dan taqwa, menggunakan lisan untuk berbicara hal yang baik, membaca Al-Qur’an, dakwah maupun berdzikir. Hal ini justru yang akan membuat lisan kita menjadi terkontrol dan menjaga hubungan lebih dekat dengan Allah.

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR Bukhari dan Muslim)
wallau’alam.

“Senantiasa tersenyum dan menebarkan kebaikan”


Soebachman, Adiba A dan Fajar Nugroho. 2015. Agar Tidak Bersedih & Berfikir Negatif Baca Buku Ini!. Yogyakarta: Kauna Pustaka


Penulis : Ika Trismiati
Anak asuh Yayasan Kemaslahatan Umat Yogyakarta

Mahasiswa semester 4, Teknik Informatika, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

POSITIVE THINKING

Segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah pasti mengandung maksud. Segala yang terjadi pada manusia dan ciptaan-Nya pasti ada hikmahnya. Semua yang terjadi telah diatur oleh Allah. Allah membuat skenario yang terbaik untuk setiap umat-Nya. Jadi, apapun yang terjadi, kita harus yakin bahwa itulah yang terbaik. Tidak perlu terlalu senang karena dapat menyebabkan lalai. Tidak perlu terlalu terpuruk karena kita harus yakin semua yang terjadi adalah yang terbaik. Semua kebaikan berasal dari Allah, semua keburukan berasal dari manusia itu sendiri.

Semua yang terjadi pada manusia pastilah ada kebaikan dan keburukan. Dari setiap kejadian, kita haruslah berprasangka baik. Berprasangka baik terhadap Allah maupun manusia lain. Berprasangka baik terhadap Allah merupakan akidah, sedangkan berprasangka baik terhadap manusia lain merupakan akhlak yang baik.

“Tetapi kamu menyangka bahwa Rasul dan orang-orang mukmin tidak sekali-kali akan kembali kepada keluarga mereka selama-lamanya dan syaitan telah menjadikan kamu memandang bak dalam hatimu persangkaan itu, dan kamu telah menyangka dengan sangkaan yang buruk dan kamu menjadi kaum yang binasa.” (QS Al Fath : 12)

Manusia pasti mempunyai prasangka. Jika yang terjadi padanya adalah kebaikan, pasti dia akan berprasangka baik, merasa senang, dan bahkan bisa terlena untuk bersyukur serta tetap memohon perlindungan Allah. Jika keburukan atau hal yang tidak menyenangkan yang terjadi, manusia cenderung berprasangka buruk, mengeluh, menggugat dan protes akan semua yang terjadi.

Manusia yang beriman dan bertaqwa pasti selalu berprasangka baik apapun yang terjadi padanya. Dia yakin bahwa semua yang terjadi telah digariskan oleh Allah. Dia akan selalu bersyukur dan menerima setiap kejadian. Ia yakin bahwa Allah menetapkan semuanya sesuai dengan kemampuan hamba-Nya. Segala yang terjadi adalah ketetapan yang terbaik dan dibalik semua yang terjadi pasti ada hikmah yang terkandung didalamnya.

“Aku sesuai prasangka hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku akan bersamanya selama ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya maka Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku, jika ia mengingat-Ku dalam sekumpulan orang maka Aku akan mengingatnya dalam sekumpulan yang lebih baik dan lebih bagus darinya. Jika ia mendekat kepada-Ku satu jengkal maka Aku akan mendekat kepada-Nya satu hasta, jika ia mendekat kepada-Ku satu hasta maka Aku akan mendekat kepada-Nya satu depa, dan jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan maka Aku akan mendatanginya dengan berlari.” (HR Bukhari dan Muslim)

Berprasangka baik akan membuat hati manusia menjadi tenang. Manusia menjadi lebih bersukur dan menerima dengan ikhlas atas apa yang terjadi. Hal ini akan berdampak positif bagi manusia, karena justru sifat-sifat kebaikan yang akan muncul padanya. Selain itu, berprasangka baik akan membuat doa-doa dikabulkan oleh Allah. Berbeda halnya jika prasangka buruk yang selalu muncul, hati yang gelisah, lupa bersyukur dan tidak ikhlas yang akan dirasakan.

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al A’raf : 56)
wallau’alam.

“Senantiasa tersenyum dan menebarkan kebaikan”


Soebachman, Adiba A dan Fajar Nugroho. 2015. Agar Tidak Bersedih & Berfikir Negatif Baca Buku Ini!. Yogyakarta: Kauna Pustaka


Penulis : Ika Trismiati
Anak asuh Yayasan Kemaslahatan Umat Yogyakarta
Mahasiswa semester 4, Teknik Informatika, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta