Segala
sesuatu yang ada atau yang terjadi pasti ada sebabnya. Begitu juga kata ‘maaf’.
Kata ‘maaf’ muncul karena adanya kata ‘salah’. Adanya seseorang meminta maaf
maupun memberi maaf karena adanya kesalahan kepada maupun terhadap orang lain.
Dan semua orang pasti pernah melakukan kesalahan, kecuali Rasulullah SAW yang ma’shum
(senantiasa dalam bimbingan Allah SWT).
Rasulullah
SAW bersabda, “Setiap manusia pernah melakukan kesalahan, dan sebaik-baiknya
pelaku kesalahan itu adalah orang yang segera bertaubat kepada Allah SWT.”
Manusia
yang baik bukanlah manusia yang tidak pernah berbuat salah, melainkan orang
yang melakukan kesalahan tapi dia segera bertaubat.
Setelah
pembebasan Makkah (Fardhu Makkah), dihadapan orang-orang yang selama ini
memusuhinya, Rasulullah SAW berkata, “Wahai orang-orang Quraisy, menurut
pendapat kamu sekalian apa kira-kira yang akan aku perbuat terhadapmu sekarang?
Jawab mereka, “Yang baik-baik. Saudara kami yang pemurah. Sepupu kami
yang pemurah.”
Mendengar
jawaban itu, Nabi SAW berkata, “Pergilah kamu semua, sekarang kamu sudah
bebas.”
Rasulullah
mengetahui mereka yang telah berkomplot untuk membunuhnya, yang telah menganiayanya
dan menganiaya pengikutnya, yang melemparinya dengan kotoran, bahkan dengan
batu. Namun beliau memaafkan semua kesalahan mereka. Nabi SAW yang ma’shum saja
memaafkan kesalahan orang lain, apalagi kita yang manusia biasa, yang pasti
pernah melakukan kesalahan, mengapa sulit untuk memaafkan orang lain?
Sebagai
makhluk yang tidak lepas dari kesalahan, hendaknya kita mampu memaafkan orang
lain. Kata maaf berasal dari Bahasa Al Qur’an yaitu alafwu yang berarti
menghapus, karena memaafkan berarti menghapus bekas-bekas luka di hatinya.
Jadi, jika masih tersisa bekas luka didalam hati, masih ada dendam bisa jadi
yang dilakukan masih pada tahap ‘masih menahan amarah’.
Islam
memberikan derajat yang tinggi bagi orang yang bisa memaafkan kesalahan orang
lain. Karena pemaaf merupakan akhlak yang sangat luhur.
Allah
SWT berfirman, “…Maka barangsiapa yang memaafkan dan berbuat baik, maka
pahalanya atas tanggungan Allah.” (QS. Asy Syura : 40)
Dari
Uqbah bin Amir berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “ Wahai Uqbah, bagaimana
jika kuberitahukan kepadamu tentang akhlak penghuni dunia dan akhirat yang
paling utama? Hendaklah engkau menyambung hubungan persaudaraan dengan orang
yang memutuskan hubungan denganmu, hendaklah engkau memberi orang yang tidak
mau memberimu dan maafkanlah orang yang telah mendzalimimu.”” (HR. Ahmad, Al
Hakim, dan Al Baghawy)
Al
Qur’an menetapkan bahwa orang yang diperlakukan secara dzalim diizinkan untuk
membela diri. Namun bukan membela diri berdasar balas dendam, tetapi dengan
menunjukkan perbuatan yang luhur dan memaafkan.
“Dan
janganlah bersumpah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di
antara kalian bahwa mereka tidak akan memberi kepada kaum kerabat, orang-orang
miskin, dan orang-orang yang berhijrah di Jalan Allah. Dan hendaklah mereka
memaafkan dan berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin kalau Allah Mengampuni
kalian? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nur : 22)
Seseorang
dituntut untuk melapangkan dada agar dapat memaafkan orang lain, menutup lembaran
lama dan membuka lembaran baru. Terkadang karena suatu kesalahan orang, kita
menjadi lupa akan kebaikannya, kita harus mempelakukannya secara seimbang.
Ahli
hikmah mengatakan : lupakan kebaikanmu kepada orang lain dan lupakan kesalahan
orang lain kepadamu. wallau’alam.
“Senantiasa
tersenyum dan menebarkan kebaikan”
Soebachman,
Adiba A dan Fajar Nugroho. 2015. Agar Tidak Bersedih & Berfikir Negatif
Baca Buku Ini!. Yogyakarta: Kauna Pustaka
Penulis
: Ika Trismiati
Anak
asuh Yayasan Kemaslahatan Umat Yogyakarta
Mahasiswa
semester 4, Teknik Informatika, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta